Online24,Maros – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Maros terus berinovasi dalam menangani kasus Tuberkulosis (TBC) dengan mengedepankan pendekatan berbasis budaya dan kolaborasi lintas sektor. Salah satunya melalui peluncuran strategi “SIPAKATAU” atau Strategi Akselerasi Pencegahan dan Penanganan Tuberkulosis, yang disosialisasikan Rabu (26/6/2025) di Hotel Grandtown, Mandai.
Kegiatan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, camat, kepala desa, lurah, serta kader kesehatan dari tingkat desa dan kelurahan.
Kepala Dinas Kesehatan Maros, Muhammad Yunus, menjelaskan bahwa SIPAKATAU merupakan strategi penanggulangan TBC yang mengusung nilai kearifan lokal. Nama “Sipakatau” diambil dari Bahasa Bugis yang berarti saling menghargai atau memanusiakan manusia.
“Program ini bukan sekadar capaian teknis, tapi lebih pada membangun kesadaran kolektif. Kami ingin menghapus stigma terhadap penderita TBC dan memperkuat dukungan masyarakat,” ujar Yunus.
Ia mengungkapkan bahwa Kabupaten Maros saat ini masih menghadapi tantangan serius dalam pengendalian TBC. Berdasarkan data tahun 2024, angka penemuan kasus (case detection rate) baru mencapai 55 persen dari target nasional, sementara angka kesembuhan (cure rate) tercatat hanya 30,32 persen.
“Kondisi ini menjadi perhatian bersama. Untuk itu, kami melibatkan berbagai pihak, termasuk anak muda, dalam gerakan SIPAKATAU agar penanganan TBC bisa lebih masif dan inklusif,” tegasnya.
Program ini juga merupakan bagian dari pelaksanaan arahan Presiden RI, Prabowo Subianto, kepada Bupati Maros, Chaidir Syam, dalam mendukung program Quick Win Pemeriksaan Kesehatan Gratis dan Gerakan Nasional Siaga TBC.
SIPAKATAU tak hanya fokus pada layanan kesehatan, tapi juga menekankan aspek edukasi masyarakat. Salah satunya melalui pembentukan “Pojok Sipakatau” di setiap Puskesmas, yang berfungsi sebagai pusat edukasi, deteksi dini, dan konseling.
Lebih dari itu, Dinkes Maros juga menggandeng kalangan anak muda sebagai Duta SIPAKATAU untuk berkampanye secara digital melalui media sosial.
“Yang terpenting dari SIPAKATAU adalah bagaimana kita memperlakukan pasien TBC dengan empati, bukan diskriminasi. Lingkungan yang suportif akan sangat menentukan keberhasilan pengobatan,” tutup Yunus. (*)