Online24jam, Makassar, – Jauh panggang dari api, sepertinya makin layak disandang Nurdin Abdullah (NA) dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur lingkup Pemprov Sulsel. Hingga memasuki sidang lanjutan pekan kesepuluh, Rabu 22 September 2021, kasus yang ikut menyeret Gubernur Sulsel non aktif itu, makin kabur alias lemah pembuktiannya.
Kutipan peribahasa di atas, seperti terungkap dari keterangan enam orang saksi yang dihadirkan di sidang Pengadilan Tipikor Makassar, siang tadi. Baik saksi Parakassi Abidin, Fajar, Sri Ulan, Kemal, Henny dan John Theodore, masing-masing mengaku tak pernah berinteraksi dengan NA dalam proses transaksi suap proyek, baik secara langsung maupun tak langsung. Justru, keenam saksi hanya berinteraksi dengan tiga oknum Pemprov Sulsel lainnya, yakni Sari Pudjiastuti, Syamsul Bahri dan Edy Rahmat.
Berdasarkan keterangan Parakasi Abidin (PA) kepada Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK), bahwasanya selaku kontraktor, pernah menyerahkan uang sebesar Rp 1 miliar kepada Sari Pudjiastuti, yang saat itu masih menjabat Kepala Biro Pengadaan dan Jasa Pemprov Sulsel.
Uang itu kata dia, berdasarkan pesanan H Momo, mitranya selaku kontraktor, untuk disiapkan dan selanjutnya diserahkan kepada Sari. Uang pecahan Rp 100 ribu itu lalu ia packing dalam kardus air mineral. Namun baru ia serahkan empat hari kemudian kepada Sari.
“Katanya uang itu sudah mau dipakai dan Ibu Sari datang ke Home Stay saya. Uang itu lalu saya masukkan ke bagasi belakang mobil Sari. Tapi setelah itu, saya tidak berhubungan lagi dengan Sari. Uang itu untuk apa, saya juga tidak tahu, karena saya hanya diperintahkan H Momo saja,” terangnya kepada JPU KPK.
Selanjutnya, uang tersebut langsung dibawa Sari ke rumah keponakannya, Sri Ulan, di perumahan Angingmammiri Hertasning. Dia diantar Fajar, sopirnya yang juga ikut bersaksi dalam sidang siang tadi.
Selain Sari, Parakassi juga mengaku pernah menyerahkan uang sebesar 200.000 dollar Singapura kepada Syamsul Bahri, ajudan NA, tepatnya sekitar Januari 2021. Permintaan tersebut, juga berdasarkan pesanan H Momo. “Saya dan H Momo yang antarkan uang itu ke rumah Syamsul di Jln Faisal. Saya yang serahkan langsung. Namun untuk kepentingan apa uang itu, saya juga tidak tahu,” jelasnya.
Adapun Saksi lainnya,, Kemal, kontraktor proyek jalan di Bua-Rantepao pada tahun 2020, mengaku pernah dimintai uang oleh Edy Rahmat, kala itu menjabat Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat PUPR Sulsel. “Saya pernah dimintai Rp200 juta oleh Edy Rahmat sekitar Januari atau Februari 2021. Tapi uang tidak cukup, saya baru kasi Rp 50 juta dan transfer ke rekening atas nama Mega, PNS di PUPR yang sering ditemani Pak Edy,” katanya.
Uang Kemal juga pernah mengalir ke Syamsul Bahri sebesar Rp 20 juta dan Rp 40 juta kepada Sari. “Kalo Syamsul katanya untuk biaya pendidikannya. Itu saya kasi cash di rumahnya. Sedangkan Bu Sari hanya bilang untuk anak-anak. Mintanya Rp 50 juta, tapi saya hanya sanggupi Rp 40 juta saja. Permintaan itu setelah proyek saya selesai,” lontarnya kepada JPU KPK.
Saksi lainnya, John Theodore, juga kontraktor hanya mengaku mengenal NA untuk urusan penjualan marmer dan sewa alat berat bagi pembangunan masjid di Pucak Maros. “Saya sempat tawarkan marmer dengan harga khusus kepada NA. Tapi Na tidak jadi beli. Kalau alat berat itu biaya sewanya Rp100 juta, tapi baru dibayar Rp50 juta,” terangnya. (#)