Online24jam, Makassar, – Belum lama ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun. DPR menyebut langkah mencetak uang tersebut sebagai cara penyelamatan ekonomi akibat dampak COVID-19 yang terjadi saat ini. Usulan ini langsung ditolak mentah-mentah oleh Gubernur BI sendiri, Perry Warjiyo, yang menganggap usulan tersebut tidak sesuai dengan kebijakan dan operasi moneter. (finance.detik.com, 6/5/2020).
Selain itu, masukan ngawur ini juga dinilai menambah kebingungan masyarakat. Lagi pula, terdengar lucu dan sangat mengherankan jika sekelas DPR tidak mengerti ancaman inflasi jika jumlah uang beredar meningkat tajam dalam suatu negeri. Kemiskinan parah yang pernah terjadi di Zimbabwe akibat inflasi menjadi mimpi buruk masyarakat.
Tiga hari kemudian, Gelora News merilis berita bahwa pemerintah menerbitkan surat utang baru sebesar Rp.697,3 triliun. Meskipun belum diketahui siapa pihak yang akan memberi uluran tangan, namun pinjaman ini direncanakan sebagiannya untuk membayar utang yang telah jatuh tempo dan sisanya untuk penanganan Covid-19. Beban berat anggaran yang dipikul negara karena adanya wabah mau tak mau harus ditutup dengan utang karena pendapatan negara sedang menurun. (gelora.co, 9/5/2020).
Lebih lanjut dijabarkan oleh Menteri Keuangan dalam jumpa pers daring di Jakarta, Jumat (8/5) Sri Mulyani Indrawati merinci penerbitan surat utang yang akan dilakukan mulai periode Mei hingga Desember 2020 itu untuk membayar utang bruto Rp1.439,8 triliun. Utang bruto itu terdiri dari pembiayaan defisit Rp852,9 triliun, pembiayaan investasi Rp153,5 triliun dan utang jatuh tempo tahun ini Rp433,4 triliun. Untuk pembiayaan defisit sebesar Rp852,9 triliun itu merupakan defisit fiskal sebesar 5,07 persen yang termasuk di dalamnya untuk penanganan COVID-19. (gelora.co, 9/5/2020).
Tak heran jika netizen awam melontarkan komentar jokes ‘Mengapa negera tak cetak uang buat bayar utang?’. Gali lobang tutup lobang alias utang dibayar utang, jelas merupakan cacat mengerikan yang diderita rezim hari ini. Melunasi utang pokoknya saja keuangan negeri mesti ngos-ngosan, ditambah lagi bunga yang membengkak dari tahun ke tahun. Apalagi di tengah kondisi wabah hari ini yang sangat berdampak pada lemahnya ekonomi dan negara kehilangan banyak sumber pemasukan. Kesempatan ini digunakan oleh negara-negara maju dan lembaga keuangan dunia untuk menawarkan bantuan bersyarat berupa pinjaman dana dan tentu saja dengan tagihan bunganya di kemudian hari.
Hal ini membuat masyarakat dilematis sendiri atas kondisi Indonesia yang sejatinya telah menjadi budak negeri kapitalis. Meski penduduk Indonesia mayoritas Muslim dan tahu bahwa praktik riba terlarang dalam Islam, tak sedikit yang membenarkan langkah yang diambil pemerintah-meski dengan nada keprihatianan, karena alasan darurat dan mengira tak ada jalan lain lagi.
Dalam sejarahnya, saat suatu negeri mengadopsi sistem moneter berbasis uang fiat atau uang kertas, maka negeri itu lebih rentan terhadap krisis. Uang fiat yang tidak memiliki nilai riil inilah yang digunakan oleh para kapitalis untuk mengambil kekayaan berupa hasil alam. Uang kertas yang telah dipegang rakyat layaknya tipuan, nilainya bisa hancur dalam semalam sementara komoditi riil yang telah dikuasai kapitalis nilai jualnya tetap stabil mengikuti perkembangan harga internasional. Kembali ke pengalaman krisis 1998 saat nilai rupiah terjun bebas terhadap hitungan dolar Amerika, menjadi bukti bahwa kekuatan moneter Indonesia sangat lemah.
Selain itu, uang fiat ini sangat mudah dimanipulasi dengan pencetakan uang berbahan kertas dan tentu saja sepaket dengan resiko inflasinya. Sangat berbeda dengan penggunaan dinar dan dirham yang bahan bakunya berasal dari emas dan perak. Oleh karenanya dinar dan dirham ini memiliki nilai riil dengan jumlah edaran terbatas yang relatif stabil. Penggunaan dinar dan dirham dalam bingkai penerapan syariah kaffah-lah yang telah mencatat prestasi penjagaan nilai kekayaan umat.
Sayangnya sistem moneter berbasis uang kertas itulah yang sedang diadopsi di negeri ini. Keharusan meniru sistem yang rapuh ini mungkin juga bukan sepenuhnya kemauan kita, kita terpaksa melakukannya karena keterkaitan dengan negara lain atau institusi intemasional seperti IMF. (Iqbal, 2007).
Alhasil, sudah lama Indonesia kehilangan kedaulatan ekonominya meski dengan bangga tiap tahun tetap memperingati kemerdekaan negeri. Saat IMF memaksa Soeharto menandatangani ratusan syarat dan prasyarat pada tahun 1997, sejak saat itulah neoimperialisme telah menancapkan akarnya di Indonesia. Utang yang mengandung riba mengandung bahaya politis karena menjadi alat campur tangan pihak asing terhadap kebijakan pemerintah. Pihak asing bisa mendikte sebuah negara yang mempunyai beban hutang sangat tinggi melalui syarat-syarat yang mereka ajukan dalam memberikan utang.
Menambah hutang jelas bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan kekacauan ekonomi. Sangat besar kemungkinan, di kemudian hari pemeritah akan kembali berhutang lagi untuk membayar hutang sebelumnya yang telah jatuh tempo lagi. Kita akan terus dipermainkan dalam lingkaran setan ini. Lagi dan lagi. Sudah seharusnya segenap komponen bangsa ini tak lagi menjadikan kapitalisme sebagai referensi saat mencari solusi atas segala masalah yang dihadapi. Telah begitu banyak rapor merah rezim ini saat menerapkan ideologi kapitalisme yang memang cacat permanen bahkan sejak ideologi itu masih dalam kandungan!
Islam sudah menetapkan aturan untuk seluruh problem kehidupan hingga akhir zaman, termasuk dalam masalah ekonomi. Solusi Islam saat negara sedang krisis bukan dengan mencari pinjaman pada negara kafir, bukan mencetak uang yang berpotensi mengakibatkan inflasi, bukan juga menaikkan nominal pajak yang dibebankan kepada rakyat. Melainkan negara akan menghemat pengeluaran dan memaksimalkan pendapatan dengan pengolahan kekayaan alam.
Pengelolaan kekayaan dalam Islam telah diatur dengan lengkap melalui sistem kepemilikan. Konsep kepemilikan ini terdiri atas kepemilikan individu, kepemilikan publik, dan kepemilikan negara. Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum Muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama. Sebagaimana dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah, ‘Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga perkara: padang, air dan api’.
Individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Kekayaan tersebut harus dikelola oleh negara dan hasilnya akan didistribusikan untuk kebutuhan umat, termasuk dana ini digunakan saat negara dilanda wabah. Sangat berbeda dalam sistem kapitalisme liberal, dalam kasus kekayaan alam pun, ketika individu atau korporasi memiliki modal dan mampu menguasai sumberdaya tersebut, maka sumberdaya tersebut akan menjadi miliknya. Rakyat harus membayar harga tertentu untuk dapat mengakses sumberdaya itu.
Sudah saatnya umat berbesar hati untuk melirik ke Islam, mengkaji, dan meyakininya sebagai sebuah ideologi langit yang siap pakai untuk menggantikan kapitalisme yang semakin nyata kerusakannya. Sambil menasehati penguasa agar rendah hati untuk mengamalkan Islam yang bila diterapkan secara sempurna tak hanya menjamin kesejahteraan kaum muslimin tapi juga kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, sesuai janji Allah. Insyaa Allah. Wallahu a’lam bisshowab.
Oleh: Syahrini
Mahasiswi Fakultas Bahasa dan Sastra,
Prodi Pendidikan Bahasa Arab,
Universitas Negeri Makassar.