Online24, Jakarta – Bukan hanya soal biaya dan konsep pesta pernikahan, namun banyak hal lain yang harus dipertimbangkan dengan matang sebelum menikah. Salah satunya adalah menyusun perjanjian pra nikah atau prenuptial agreement. Perjanjian pra nikah memang belum cukup umum di Indonesia, masih banyak orang yang menganggap bahwa perjanjian ini merupakan hal tabu. Semua permasalahan terkait harta kekayaan dan lainnya akan cepat selesai apabila sebelum pernikahan dilangsungkan ada kesepakatan antara kedua calon pasangan dalam sebuah perjanjian. Jumat,(17/0720) kemarin.
Terlepas dari kepercayaan individu, perjanjian pra-nikah sebenarnya lebih kepada perlindungan hukum bagi setiap masyarakat dari tuntutan yang mungkin muncul ketika terjadi perceraian antara suami dan istri atau terjadi perpisahan akibat kematian. Pada Pasal 29 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa,pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
“Setiap harta yang kita bawa sebelum menikah walaupun akan bertambah tetap diatur. Hal yang terkait setelah menikah disebut harta bersama dan harus tetap diatur. Jika suatu hari terjadi perceraian atau keduanya, dipisahkan oleh kematian maka sudah menjadi keributan antara kedua belah pihak. Pada dasarnya akan membela serta melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak sebagai suami dan istri sehingga saat kita menikah tidak main – main,” Ucap Aslam syah Muda selaku Lawyer & Praktisi Pendidikan Perilaku Dompet Dhuafa.
Terdapat dua hal yang menjadi fokus bahasan dalam pasal ini dalam membuat sebuah perjanjian yaitu Pemisahan Harta Benda dan Perjanjian Kawin (huwelijks voorwaarden). Perjanjian pra-nikah ini, harus dibuat di hadapan akta notaris sebelum diberlangsungkan pernikahan bukan setelah perkawinan berlangsung sebelum ijab-qobul serta tidak boleh dilakukan perubahan dengan cara apapun dan berlaku hingga perkawinan berakhir oleh perceraian ataupun kematian yang sifatnya mengikat.
Banyak aspek krusial dalam membuat perjanjian seperti Keterbukaan, Kerelaan, Objektif dan Notariil. Perjanjian pra-nikah dianggap penting, sehingga dibutuhkan untuk pembahasan lebih jauh. Merujuk pada Pasal 1320 KUH Perdata yang berisi tentang sah perjanjian. Pada umumnya sedikit dari masyarakat Indonesia masih kurang memahmi akan pentingnya melakukan perjanjian secara tertulis. Hanya bagi mereka yang mempelajari serta memahami terkait pentingnya membuat perjanjian secara tertulis. Jika melihat fakta dilapangan masih banyak masyarakat Indonesia yang melakukan perjanjian secara lisan, meskipun perjanjian lisan tidak dilarang oleh KUH Perdata.
“Makanya di Indonesia ini, ketika kita menikah sudah diatur perjanjian itu di KAU perdata dan diatur oleh hukum islam tapi minimal tidak semerta merta hukum islam di Indonesia ini, tidak terkait dengan hukum positif kita tetap diatur karena hukum positif untuk perjanjian tadi,” tutup Aslam. (*)