Opini : Manisnya Lobster

News160 Views
banner 468x60

Online24 – Pada tahun 1993, saya diikutkan oleh Professor saya dari Hiroshima University, untuk mengikuti sebuah workshop dan konferensi Internasional mengenai pengelolaan dan biologi Lobster di Sanriku, Jepang yang terletak di sisi timur laut pulau Honshu, berdekatan dengan Aomori serta Iwate Prefecture yang memiliki sejarah panjang tentang Lobster.

Konon kabarnya para ilmuwan dari seluruh dunia pada waktu itu, perlu untuk membicarakan masalah Lobster. Kenapa lobster? Karena, lobster ditemukan di seluruh samudera beriklim sedang dan tropis dan merupakan salah satu produk makanan laut paling berharga di dunia.

Tiga keluarga lobster (Nephropidae, Palinuridae, dan Scyllaridae) ini, terdiri dari sebagian besar jenis lobster yang ada di dunia. Konon kabarnya, kepentingan ekonomi mereka jelas mendorong banyak penelitian tentang lobster. Walaupun begitu minat ilmiah terhadap lobster melampaui kepentingan mereka hanya sebagai makanan yang akan dihidangkan di atas meja.

Para ilmuan ini memahami betul bagaimana lobster mencapai keberhasilan biologisnya adalah merupakan kontribusi ilmiah yang sangat penting. Mereka meyakini juga bahwa lobster berfungsi sebagai organisme “model” yang luar biasa untuk studi masalah perikanan secara umum.

Atribut ekologis mereka cukup mirip dengan ikan finfish yang dapat diterapkan secara luas, namun kelimpahannya, mobilitasnya yang lebih rendah, dan kekuatan serta tingkat kelangsungan hidupnya yang rendah menjadikan Lobster sebagai subjek penelitian yang sulit ditelusuri dan menyisakan banyak pertanyaan untuk kalangan sains perikanan.

Salah satu makalah yang dibawakan pada konferensi itu adalah “Early life History of Spiny Lobster”. Makalah yang ditulis oleh John D. Booth dari Kementerian Perikanan Australia dan Bruce F Phillips dari Kementerian Perikanan Selandia Baru, menjelaskan tentang “kesulitan hidup” lobster di masa mudanya.

Kalau kita melihat siklus biologi dari lobster, terlihat bahwa lobster sangat “fragile” di usia muda nya, dan membutuhkan waktu panjang untuk sampai di masa dewasa. Secara filosofis, tahapan larva lobster disesuaikan untuk umur panjang di laut terbuka dan menawarkan kesempatan untuk penyebaran luas walaupun dalam jumlah yang sedikit.

Perkembangan awal terdiri dari phyllosoma dari keluarga Palinuridae yang banyak terdapat di Indonesia. Phyllosoma adalah zoea planktonik berumur berbulan-bulan. Setelah berbulan-bulan berkembang di lepas pantai dan perairan samudera, beberapa phyllosomas yang masih hidup kembali ke pantai untuk bermetamorfosis ke tahap puerulus dimana ini merupakan transisi postlarva antara phyllosoma dan juvenile.

Setelah lobster ini harus mengarungi ganasnya lepas pantai, dimana persaingan dengan para pemangsa semakin besar. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa persentasi hidup para lobster muda ini hanya berkisar antara 1-3% setelah berjuang di dalam suatu kesulitan hidup yang dipengaruhi banyak faktor.

Dr. William F. Herrnkind, sekarang pensiunan professor di Departemen Biological Science, Florida State University, sudah mengingatkan pada tahun 1977 dengan mengatakan bahwa Lobster sebenarnya adalah entitas biologis yang sangat signifikan: terdistribusi luas, mempunyai banyak jenis dalam satu genus, berukuran besar, berumur panjang, berjumlah besar, memiliki konsekuensi ekologis di dalam suatu ekosistem.

Berbasis tingkat kesulitan hidup lobster ini, sejatinya ada suatu data dan mekanisme yang mengatur dinamika populasi lobster. Selain itu sejatinya ada rumusan dan uji hipotesis yang bisa menjelaskan evolusi dan fungsi agregasi sosial yang sangat kohesif dari lobster ini.

Harus disadari bahwa species Lobster yang ada di Indonesia merupakan species yang sangat penting secara ekonomi dan ekologis di seluruh Samudra Indonesia yang tropis. Pemahaman kita tentang ekologi dan tingkah laku pada fase puerulus sudah sangat baik yang sebetulnya bisa dijadikan pijakan dasar dalam membuat strategi pengelolaan lobster yang berkelanjutan.

Sejatinya penelitian tentang ekologi deskriptif sudah harus secara annual dilakukan untuk menguji aspek dinamika perekrutan larva dalam skala besar. Sama halnya dengan teknik biologi molekuler, sejatinya sudah bisa memberikan informasi yang berguna tentang mekanisme rekrutmen larva. Keberhasilan puerulus dalam menyelesaikan fase kehidupan lobster ini dibatasi melalui mortalitas yang tinggi sebelum dan setelah fase ini selesai.

Setelah itu pueruli akan aktif mencari daerah hidup yang cocok dimana kelangsungan hidup selanjutnya bergantung pada kepadatan dari makanan dan tempat berlindung para lobster muda. Keseluruhan faktor ini menjadi penentu utama kelimpahan lobster dan yang lebih penting adalah memahami strategi apakah para Lobster muda ini sebaiknya di jual atau dibudidayakan dengan syarat tersedianya lingkungan yang baik untuk para lobster.

Untuk itu mungkin baik kalau kita belajar dari kearifan lokal masyarakat Sanriku, Jepang dan Mexico yang berdamai dengan alam dan semesta untuk menumbuhkembangkan lobster yang selama siklus biologinya menemui banyak kesulitan.

Hal-hal yang mereka lakukan adalah hal yang sederhana antara lain membuat habitat buatan di alam dengan memetakan dasar perairan yang terbaik untuk dijadikan habitat buatan. Mereka meyakini bahwa perbedaan pada tipe dasar perairan termasuk perubahan kedalaman, memiliki cakupan yang mendukung peluang bagi tempat berlindung bagi lobster pada berbagai tahap siklus hidupnya.

Manusialah yang semestinya bijak dan mengambil peran sebagai orang yang berilmu pengetahuan untuk mengelola keberlanjutan dan menumbuhkembangkan si “manis” ini. Ilmu dari mereka ini tidak butuh banyak penalaran, yang dibutuhkan adalah kebijakan yang mempertemukan antara dua mazhab besar yaitu mazhab ekologi dan mazhab ekonomi.

Sangatlah tepat sekiranya, Ziad Abdelnour, salah satu dari 500 CEO Paling Berpengaruh di dunia dari Richtopia (website yang misinya adalah untuk memperkaya kehidupan masyarakat) mengatakan dalam suatu Quotenya: “When life gives you lemons, order the lobster tail”. Beliau ingin mengatakan sekiranya banyak kesulitan dalam hidup ini (lemons menggambarkan keasaman), pesan lah ekor Lobster, sehingga bisa menjadi penyeimbang suatu yang asam.

Ini menunjukkan bahwa Lobster adalah suatu “branded food” yang nilainya tidak setara dengan hasil dari sektor perikanan lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana “seksi” si manis ini. Manis nya si lobster harus dirasakan oleh seluruh user dan customernya dengan tetap mengedepankan keberlanjutannya.  (Dosen Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dan Direktur urusan kerja sama Internasional Unhas).

 

Oleh : Prof. M. Iqbal Jawad, M.Sc

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *