WALHI Sulawesi Selatan Sebut Pembangunan PLTMH Ma’Dong Toraja Utara Langgar Tata Ruang dan Merampas Hak Rakyat

Proses pembangunan PLTMH Ma'Dong Toraja Utara (dok.WALHI Sulsel)
Dukcapil Makassar

Online24, Makassar – WALHI Sulawesi Selatan menggelar konferensi pers pada Selasa (2/11/21). Konferensi pers ini dilakukan dalam rangka merespon proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kabupaten Toraja Utara. Konferensi pers ini menghadirkan dua pembicara yakni Pak Andi selaku warga terdampak dari Lembang Paku dan Arfiandi Anas perwakilan dari WALHI Sulsel.

Pembangun PLTMH Ma’dong mulai dikerjakan oleh PT Nagata Hidro Ma’dong sejak tahun 2019 namun UKL-UPLnya telah terbit pada tahun 2013. PLTMH Ma’dong ini akan memiliki kapasitas daya sebesar 10 MW yang memanfaatkan aliran Sungai Maiting. PLTMH ini ditargetkan beroperasi di awal tahun 2022.

Di awal konferensi, Pak Andi, salah satu warga yang terdampak turut menjelaskan bahwa sebelum pembangunan bendungan PLTMH Ma’dong, Sungai Maiting dimanfaatkan sebagai lokasi wisata arung jeram. Namun semenjak pembangun bendungan dilakukan debit air Sungai Maiting sudah tidak dapat dibuat arung jeram.

Selain itu, Pak Andi juga menjelaskan bahwa pembangunan PLTMH Ma’dong di dua lembang yakni Lembang Ma’dong dan Lembang Paku setidaknya berdampak kepada 22 KK. Pak Andi menjelaskan jika lahan mereka rusak akibat pembangunan PLTMH sedangkan ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan harga yang diinginkan warga. “Lahan kami itu ada yang rusak karena proyek PLTMH dan ganti rugi yang diberikan tidak sesuai harga yang kami inginkan. Padahal kebun kami itu tempat kami hidup dan juga disitu sumber pakan ternak babi kami” ungkapnya.

Tidak hanya itu, ketika menuntut hak kami yang diambil perusahaan, kami malah mendapatkan intimidasi dari oknum aparat yang ada di sekitar proyek PLTMH Ma’Dong. “Kami itu hanya menuntut ganti rugi dan hak kami. itu saja”,tegasnya

Selain Pak Andi, Arfiandi Anas, dari WALHI Sulsel juga menjelaskan bahwa pembangunan PLTMH yang terletak di Kecamatan Denpina terdapat beberapa pelanggaran kesesuaian tata ruang.

Pertama adalah lokasi PLTMH bukan sebagai lokasi ruang energi.Dalam PP nomor 21 tahun 2012 yang diubah menjadi PP 22 tahun 2021 menyebutkan bila lokasi kegiatan harus sesuai dengan tata ruang yang ada. Menurut staf Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel ini tidak sesuai dengan peruntukan ruangnya. “Jika kita melihat Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Toraja, dalam pasal 11 dimana Perda tersebut tidak meletakkan Lembang Paku dan Ma’dong Kecamatan Denpina sebagai lokasi ruang energi. Sedangkan setiap pembangunan harus mematuhi aturan yang berlaku, ” ujarnya.

Kedua adalah Kecamatan Denpina merupakan wilayah rawan bencana sehingga pengerjaan proyek PLTMH akan memperbesar potensi bencana yang terjadi. “Lokasi pembangunan PLTMH di Lembang Paku berdampak terhadap kondisi tanah yang sudah rawan longsor dimana tidak adanya penahan atau tanggul di areal pengerjaan proyek. Hal itu akan membahayakan pemukiman serta area perkebunan warga,” terangnya.

Secara kajian lingkungan, pembangunan PLTMH ini memiliki dampak yang mencakup dua lembang, yakni Lembang Ma’dong dan Lembang Paku. Sedimentasi dan penyempitan lahan yang berdampak terhadap penurunan kualitas air. “Sungai Maiting yang menghidupi banyak orang untuk konsumsi dan irigasi pertanian warga sangat penting untuk dijaga. Menurunnya debit dan kualitas air akan menyebabkan ancaman kekeringan”, jelasnya.

Selain mengkaji kesesuaian tata ruang, dampak lingkungan, dan implementasi UKL-UPL di lapangan, kami menemukan sejumlah dugaan pelanggaran dibalik pembangunan proyek PLTMH Madong. “Sejumlah dugaan pelanggaran yang kami temukan yakni pelanggaran hak atas informasi, hak atas lingkungan yang baik dan sehat, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, pelanggaran HAM, melanggar tata ruang, dan tidak memiliki izin rekomendasi pemanfaatan sungai sesuai yang diatur dalam PP Nomor 38 tahun 2011 tentang sungai”, tegasnya

Terakhir, dari kajian sementara yang dilakukan, kami juga menemukan adanya keterlibatan pembiayaan bank swasta dalam proyek PLTMH Ma’Dong dimana proyek ini ialah proyek yang melanggar tata ruang dan merampas hak rakyat. (*)

Pemkot Makassar