Gelora Bung Karno dan JIS Mattoanging dan Stadion Yang Hilang

Opini2 Views
banner 468x60

Oleh : Ano Suparno
Eks Marcom PSM @ Panpel

Online24jam,Makassar, – Genap setahun stadion Mattoanging Andi Mattalatta (MAM) dirubuhkan oleh Pemprov Sulawesi Selatan. Dan pada setahun itu, pada saat yang bersamaan saya membaca berita bagaimana Jakarta International Stadium (JIS) menambah kemeriahan Jakarta sebagai kiblat sepak bola Indonesia, melengkapi Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Apa kolerasi dari tulisan ini? Pertama adalah, GBK dan Mattoanging merupakan tonggak sejarah sepak bola Indonesia. GBK di Barat Indonesia sementara Mattoanging di Timur Indonesia. Sepantasnya, keduanya tetap kokoh berdiri.

Sejak Nurdin Abdullah, Gubernur Sulsel kala itu sedang ngehits merayu suporter dan warga akan merubah wajah Mattoanging, mungkin hanya saya yang benar benar tak sepakat dengan cara berpikir NA. Dari sisi sejarah, bahwa Stadion Mattoanging adalah sebuah cerita, sebuah histori, sebuah peradaban dan sebuah harga diri yang tak boleh dimusnahkan. Bangunan itu tidak hanya sebagai bukti sejarah tetapi jembatan peradaban bagi Makassar dari masa ke masa. Melalui bangunan itu ada sebuah cerita dalam perjalanan hidup siri’ nya orang orang Bugis – Makassar. Anggota DPRD sebagai perwakilan rakyat kala itu, seharunya kalau boleh berkata wajib hukumnya menangkal niat NA bersama Pemprov. Apapun alasan dan konsep kemegahannya yang konon akan menyerupai stadion Wembley di tanah Britania Raya London. Akan lebih berharga andai Pemprov kala itu, memilih salah satu kawasan di Makassar untuk membangun stadion taraf internasional, seperti yang telah dirancang oleh Gubernur DKI Anies Baswedan melalui Jakarta International Stadium (JIS). Anies tak menyentuh secuil pun GBK sebab ia adalah pemimpin cerdas yang paham tentang peradaban.

JAKARTA INTERNATIONAL STADIUM (JIS) semakin menyempurnakan DKI sebagai kiblat sepak bola modern di Indonesia. Untuk menandai kehadiran stadion itu, JIS akan menghadirkan klub klub sepak bola dunia untuk merasakan rumput hijau stadion termegah di Indonesia. JIS merupakan stadion yang dirancang memenuhi standar Federation Internationale de Football Association (FIFA) dengan kapasitas 82.000 penonton.Serta dilengkapi atap buka-tutup secara otomatis yang pertama kali di Indonesia.

MATTOANGING NATIONAL STADIUM
Adalah kekeliruan terbesar Pemprov Sulawesi Selatan ketika merobohkan Mattoanging dengan dalih renovasi. Lalu akan tercatat dalam sejarah, bagaimana reaksi publik ketika itu yang hanya mahfum dan berdiam diri menyaksikan sebuah pikiran yang menghancurkan peradaban meskipun berdalih akan lahir di lokasi yang sama sebuah stadion Mattoanging atau The New Mattoanging. Toh, walah The New Mattoanging itu hadir, ia bukanlah Stadion Mattoanging yang bersejarah itu, wajah nya berubah dan tak sejengkal pun meninggalkan jejak sejarah. Ia hangus dan dihempaskan oleh angin yang bukan berasal dari angin Mamiri. Bukankah angin Mamiri adalah bagiaan dari keelokan stadion Mattoanging? Yah kan sodara?

Walaupun kini Pemprov Sulsel berencana akan membangun kembali secara sederhana tak seheboh lagi konsep awalnya, tetapi menurut saya sebagai pengopini, “Kita telah membakar buku yang menceritakan tentang diri kita sendiri”

Seandainya NA atau Pemrov atau DPRD kala itu merekomendasikan membangun SSIS (Sulsel International Stadium) di kawasan lain maka tentu hasilnya akan berbeda. Sebab kita membuka atau menciptakan halaman buku yang baru sebagaimana Anies ciptakan JIS di DKI. Toh sebab tak disangka Gubernur kala itu NA dicokok KPK, maka tak ada penyesalan bagi kita sebab Mattoanging tetap berdiri kokoh, tetap jantan dan berkokok walau telah termakan usia.

Kini Mattoanging menyisakan onggokan bangunan yang roboh, genangan air terlihat seperti kubangan, rerumputan ilalang tumbuh liar bagai hutan di dalam kota. Pekan lalu saya melintas di kawasan itu, tak terasa menetes sebening cairan. Bagiku pribadi, banyak cerita lahir dari stadion itu, sebagai penonton, pemanjat dinding stadion, suporter, peliput, pengelola PSM, hingga sebagai ketua panitia pertandingan.

Akhir cerita, “selamat jalan Mattoanging. Terima kasih, sebab selama berpuluh puluh tahun kau hadir memberi kami kebanggaan melalui cerita dan heroik mu”

Ano Suparno, penulis Jalanan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *