OPINI : Sepenggal Catatan “Setumpuk Rindu Sahabat Kamonji”

Opini7 Views
banner 468x60

Online24 –  Sekian purnama berlalu. Kerinduanku terhadap kampung Kamonji tak bisa dibohongi. Pada tahun 1970-an, saat aku kecil, Kamonji dikenal sebagai kampung di kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah. Penduduk masih sedikit. Mereka hidup rukun, berbaur dengan aroma kekeluargaan dan pluralisme yang kental. Ada orang Kaili, Bugis, Arab, Jawa, Banjar, Kawanua, Batak, Mandar, Tionghoa, dan suku lainnya.

Rindu suasana pagi hari yang berembun, dengan sinar matahari yang hangat. Rindu semilir angin yang sejuk, bukan polusi udara dan ramainya kendaraan yang hiruk pikuk. Rindu hamparan kebun dan pepohonan yang menyegarkan mata. Rindu keramahan warganya, rindu canda tawa kawan sepermainan masa kecil, dan rindu semua tentangmu…!

Belum lagi. Makanan apapun yang aku mau bisa aku dapat di tanah rantau, namun kepuasan akan apa yang aku dapat tak akan pernah bisa menggantikan enaknya masakan buatan ibu sewaktu di kampung Kamonji. Sayur kelor dengan kuah santan, ‘binte’ (makanan berkuah dengan bahan jagung muda), ikan ‘Rono” (semacam ikan teri yang digoreng atau diasinkan) dan lainnya.

Suatu saat, sudah duduk di meja makan. Tiba-tiba suara teman sekolah terdengar memanggil. Aku pun beranjak hendak menghampiri asal suara itu. “Eh…cicipi dulu biar sedikit makanan diatas meja itu sebelum pergi bermain. Nanti “Nasalora” (pamali,red),” ujar ibu mengingatkan.

Di setiap perbincangan dengan teman-temanku tak lupa aku selalu menceritakan kebanggaanku terhadapmu. Sebab, seperti apapun keadaanmu, kamu tetap satu-satunya alasan untuk mengunjungimu.

Kampung halamanku, sekali lagi kamu perlu tahu bahwa aku berusaha untuk tidak mengecewakanmu. Sebab, sejauh apapun aku pergi meninggalkanmu, aku tetap bertahan pada tujuan awalku untuk membuatmu bangga. Karena aku telah memilihmu untuk menjadi satu-satunya tujuan pulangku. Setumpuk rinduku itu selalu bertambah dari waktu ke waktu.

“Ah, aku mungkin lebay,” pikirku. Terbawa perasaan alias “Baper” (istilah anak gaul sekarang) setelah jauhnya jejak langkah menjemput rejeki. Terkadang juga aku lupa, bahwa itu sudah menjadi pilihan dan konsekuensi hidup. Yang kerap membuat diriku dan keluarga berjauhan.

Namun dibalik “nyanyian kerinduan” ini, aku tetap bersyukur. Pasalnya, karena jauhnya jarak antara diriku dengan Kamonji, setidaknya aku masih memiliki kawan-kawan masa kecil yang rasa saudara. Seperti sahabat dalam sebuah keluarga kecil. Banyak cerita memori. Ada suka duka, tawa sedih, kelakar, ‘baku gara’ (saling ejek,red), dan kelakukan lainnya yang terasa indah dikenang.

Terkirim sebait puisi “belum ada judul”:

DUHAI waktu…..

Sahabat….bukan siapa yang so (sudah,red) lama kamorang (kamu,red) kenal. Tapi siapa yang menghampiri hidupmu dan tidak pernah meninggalkanmu dalam kondisi atau situasi apa pun. Ibarat bintang. Walaupun jauh, cahayanya tetap nampak. Meski kadang hilang, tapi sesungguhnya ia tetap ada. Ia tak mungkin dimiliki, tapi yakinlah ia tak bisa dilupakan….!

 

Opini Oleh : Rusman Madjulekka (Penulis bersekolah di SD Inpres Kamonji 1977-1982 pernah tinggal di jalan jeruk kamonji).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *