Sepenggal Catatan Pasca Pilkada Makassar 2020

Opini53 Views
banner 468x60

Online24, Makassar – Gemerlap panggung politik kerap membuai seseorang. Popularitas dan materi yang menempel, bahkan tak jarang mengubah perangai dan perilakunya bak selebritas kaget-kagetan.

Jejak digital mengungkap pasang surut perjalanan karir politik seorang Muhammad Ramdhan Pomanto sejak beberapa tahun silam hingga menjelma menjadi ikon politik seperti sekarang bak kisah dongeng. Anak seorang guru yang berasal dari lorong di sudut kota Makassar ini sebelumnya jauh dari publikasi dan sorotan lampu.

Bahkan saat momen diperkenalkan sebagai rekrutan baru di percaturan politik kota Makassar, Danny-begitu ia akrab disapa- datang dengan embel-embel arsitek dengan menenteng tas. Isinya kertas-kertas gambar karya desainnya. “Tabe….tabe (permisi,red), ” ucap Danny menerobos kerumunan wartawan saat dipanggil Ilham Arief Sirajuddin (IAS), Walikota Makassar, maju ke depan podium. Tak satu pun yang mengenali Danny ketika itu.

Pesta demokrasi dipenghujung tahun 2020 sudah usai. Danny atau Danny Pomanto (DP) yang berpasangan dengan Fatmawati Rusdi unggul pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwali) Makassar 2020.

Sejak awal beberapa pengamat sudah memprediksi Pilwali Makassar 2020 menjadi satu kontestasi ‘terpanas’ di Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) serentak tahun 2020.

Pertama, karena aroma kontestasi yang masih diliputi tragedi kemenangan kotak kosong pada Pilwali 2018. Kedua, adanya konfigurasi elite politik yang sangat keras di mana aktor kunci yang bertarung di Pilwali Makassar 2018 berjumpa kembali di kontestasi 2020.

Memang perjalanan dan proses Pilwali kali ini menguras banyak energi, pikiran dan perasaan. Diwarnai dengan berbagai ketegangan, perang urat syaraf, dan insiden.Bahkan, ada yang memperkirakan bakal berlanjut sampai ke MK. Namun faktanya, boleh dibilang berakhir anti klimaks. Semua rival Danny secara kesatria menerima hasil hitung cepat dan memberi ucapan selamat kepadanya.

Hanya saja, ibarat permainan sepakbola, dimasa injury time saat laga akan berakhir, disayangkan oleh penonton, karena pertandingan sempat ternoda.Menyusul beredarnya video rekaman DP yang berisi tudingan terhadap Jusuf Kalla (JK) terkait operasi tangkap tangan KPK terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, beberapa hari menjelang hari pencoblosan. Kasusnya berujung pidana yang diproses aparat kepolisian.

Jurubicara Jusuf Kalla, Husain Abdullah menyayangkan ucapan itu jika benar dilontarkan DP. “Danny seperti tidak punya lagi sopan santun sedikit pun kepada sosok yang dihormati semua kalangan,” ujar Husain dalam keterangannya, Sabtu (5/12/20).

Husain bahkan menyinggung soal falsafah orang Bugis-Makassar terkait adat dan istiadat dalam menghormati orang tua. “Saya yakin kalau orang Bugis-Makassar tidak gampang mengumbar fitnah seperti itu, karena secara budaya dan agama tahu resikonya, bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan,” sambungnya.

Kemenangan Danny kali ini sekaligus merefleksikan beberapa catatan kritis. Antara lain misalnya adanya aroma residu dendam berkaca kemenangan kotak kosong pada Pilwali 2018, sikap politik (political engagement) pemilih sangat sulit ditebak, bahkan bisa terkonsolidasi sebagai kekuatan tersembunyi (hidden power) yang berwujud simpati dipenghujung laga. Dan Pilkada itu, bukan melulu soal kalah menang. Tapi, ada etika, santun dan saling menghormati.

Lazimnya setelah hajatan, selanjutnya adalah ‘cuci piring’, rapikan tenda dan bersih-bersih. Oleh karena itu, ada baiknya pasca penetapan paslon terpilih oleh KPU Makassar nanti, DP disarankan merajut kembali harmoni sebagai sesama anak Makassar.

Catatan lain, jangan sampai kemenangan tersebut menjadi semu. Mengapa? Karena kemenangan sejati adalah apabila DP menambal lubang-lubang demokrasi yang sempat tercabik, dengan menunjukkan kehadirannya (kalau perlu mengajak bersama dengan mantan rivalnya) sebagaimana filosofi taglinenya “Adama”.

Politik tidak selamanya apa yang kita lihat atau saksikan diatas panggung. Tapi ada ruang dibelakang panggung yang tidak banyak diketahui publik.

Dikuatirkan setelah kemenangan dalam genggaman, DP menjadi lupa diri, kemesraan cepat berlalu, serta menjadi beban bagi parpol atau elit partai pengusungnya. Berkaca dari yang lalu-lalu dan pengalaman silam yang kata orang bijak adalah guru yang baik.

Misalnya, jangan karena perilaku dan mulut DP yang kadang tidak terkontrol justru menjadi blunder dan berimplikasi hukum. Akibatnya sosok dibelakang panggung seperti Rusdi Masse, Andi Iwan Aras, dan lainnya harus turun tangan dan ‘pasang badan’ meredam percikan-percikan api yang bak bom waktu.

“Namun sampai kapan keduanya harus menjadi ‘pemadam kebakaran’? Ini yang harus disadari oleh DP untuk introspeksi dan jadi momentum guna memperbaiki perangai dan omongannya. Jangan seperti Ahok dengan banyak kontroversi,” ujar Moelawarman, seorang pengamat sosial politik yang juga jurnalis senior mengingatkan. Apa bisa? “Asalkan kedepan dia tidak salah mentor,” sambungnya.

Hal senada juga diungkapkan Andi Iwan Aras, Ketua DPD Gerindra Sulawesi Selatan. “Para kandidat usungan yang terpilih, termasuk DP, supaya merangkul semua kontestan yang lain untuk kembali bersinergi dan bersama-sama membangun daerah mereka masing-masing.”

Sedangkan Rusdi Masse (RMS), Ketua DPW Naadem Sulsel yang juga suami Fatmawati mengingatkan bahwa kemenangan di Pilkada ini bukanlah capaian akhir melainkan sebuah permulaan untuk bekerja dalam memberikan yang terbaik bagi kemaslahatan dan membuktikan janjinya kepada masyarakat.

(Rusman Madjulekka).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *